Senin, 01 Juni 2009

Balonku Ada Berapa?


Beberapa waktu yang lalu, seorang teman dengan serunya menceritakan pada saya bahwa lagu anak-anak Indonesia adalah bukti konkrit bahwa bangsa ini dibesarkan dengan kebodohan. Tya mengingatkan saya sebuah lagu. "Coba, Ar, nyanyiin Balonku Ada Lima!" serunya melalui semacam hubungan telepon melalui Internet. Dan, sayapun menyanyi:

Balonku ada lima,
rupa-rupa warnanya.
Merah, kuning, kelabu, merah muda, dan biru.
Meletus balon hijau,
dorrrrr!
Hatiku amat kacau.
Balonku tinggal empat,
kupegang erat-erat...

"Nah, kan! Salah kan? Kalau yang meletus balon hijau, nggak ada yang kurang dong balonnya!" seru Tya bersemangat. Ah, iya juga, pikir saya. "Lucu, tuh, Ar, ditulisin!" lanjutnya provokatif. Ia tahu saya sedemikian kurang-kerjaannya untuk menuliskan hal-hal demikian.

Saya mulai mencari-cari informasi tentang Balonku Ada Lima. Pencarian pertama saya di Google menggunakan kata kunci 'pengarang balonku ada lima'. Hasil pencarian di halaman pertama sebagian besar menuding si pengarang! Wah, pikir saya, ternyata banyak yang sudah menuliskannya. Sayapun mulai malas menulisnya. Toh, sudah banyak yang menulisnya. Saya hanya meneruskan pencarian saya karena saya penasaran siapa gerangan pengarang lagu yang dituliskan sebagai 'lagu penyesatan anak-anak' oleh salah satu ulasan yang saya temukan.

Akhirnya saya tahu, pengarangnya adalah Ibu Sud. Wah, sama sekali bukan bayangan saya terhadap citra seorang Saridjah Niung Bintang Soedibio yang turut mengiringi pengumandangan pertama kali lagu Indonesia Raya dengan biolanya. Sayapun semakin penasaran. Dalam pencarian lebih lanjut, saya menemukan sekumpulan fakta menarik tentang Ibu Sud dan lagu-lagu ciptaannya. Seperti citra Ibu Sud yang ada dalam kepala saya, beliau tidak mungkin menciptakan lagu yang menyesatkan anak-anak pendengarnya! Berikut llirik asli Balonku Ada Lima:
Balonku ada lima,
rupa-rupa warnanya.
Hijau, kuning, kelabu, merah muda, dan biru.
Meletus balon hijau,
dorrrrr!
Hatiku amat kacau.
Balonku tinggal empat,
kupegang erat-erat...

Ah, mengapa orang-orang bisa menyanyikannya kembali dengan kata merah? Bukan hijau? Mengapa ingatan saya juga salah? Saya sudah tidak ingat siapa yang pertama kali mengajarkan lagu itu, bagaimana lagu itu pertama kali diajarkan, benarkah demikian liriknya. Sekarang pertanyaan-pertanyaan di atas tidak lagi mengganggu saya. Saya malah berpikir, bagaimana ceritanya --atau caranya-- sampai ada sedemikian banyak orang yang salah hafal, salah ingat --bahkan salah kaprah-- lagu itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar