Gambar ini digabungkan penulis dari Kompas (Minggu, 7 Juni 2009) dan Youtube.
Media (massa) dan liputan-liputan hiperbolanya itu memang dahsyat. Coba lihat perkara monolog Butet Kertaredjasa dalam acara Deklarasi Damai yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum di Jakarta, Rabu, 10 Juni, kemarin. Kompas.com dan entah berapa banyak media lainnya setidaknya punya satu berita tentang bagaimana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono sama sekali tidak tersenyum sepanjang Butet berceloteh di panggung. Padahal, coba Anda klik tautan ini, Anda akan bisa melihat bagaimana pasangan capres dan cawapres ini tersenyum dan tertawa menanggapi celoteh sang seniman.
Sayangnya, hiperbola liputan media malah diafirmasi oleh juru bicara kepresidenan melalui berita ini. Satu hal yang juga saya heran dari media-media ini; kenapa musti menuliskan Andi Mallarangeng sebagai juru bicara kepresidenan dalam pemberitaan macam ini ya? Andi Mallarangeng kan koordinator media untuk Partai Demokrat? Dan, dalam kasus ini rasanya lebih pantas disebut demikian ketimbang sebagai juru bicara kepresidenan.
Hm, apakah ini salah satu cara unjuk gigi Tim Kampanye SBY? Atau ini salah satu cara media (tertentu) menunjukkan dukungannya terhadap pasangan SBY-Berbudi? Ah, sudahlah; jadi panjang nanti, lebih baik makan Indomie rasa presiden daripada suntuk memikirkan beginian --krik, garing.
Apa lagi? Manohara? Busyet; untuk mbak yang satu ini saya nggak perlu repot-repot memberikan Anda tautan ini dan itu lah ya. Bagaimana media mengejar-ngejar Manohara dan ibunya mulai dari mereka mendarat ke Jakarta sampai beberapa hari sesudahnya kan kita semua tahu. Waktu itu, saya sih menunggu stasiun TV mana yang cukup kaya untuk membayar wawancara ekslusif dengannya h+1 kepulangannya ke Indonesia ini; dan, ternyata adalah Global TV.
Ketika beberapa waktu kemudian saya iseng mencari perkembangan kisah si mbak ini, saya nggak terlalu kaget menemukan segambreng pendapat artis ibukota di Detikhot.com tentang Manohara dan kasusnya. Yang membuat saya kaget justru pendapatnya Krisna Murti. Bukan apa-apa, pendapatnya hanyalah bentuk keberlebihan (atau bahasa gaulnya lebay) yang kemudian diekspos media; maka kemudian para konsumen media itu (alias masyarakat Indonesia pada umumnya) jadi ikut-ikutan hiperbola.
Bagaimana saya nggak kaget kalau judul artikelnya begini: Krisna Murti berdoa Indonesia-Malaysia nggak perang? “Apa?!?” maki saya dalam hati.
Apa lagi? Mbak Prita dan surat elektronik (surel)-nya? Itu juga. Kita para pengguna Internet sih sudah khatam dengan surel-surel keluhan macam itu. Mbak Prita-nya saja yang pas sial. Dan, sejumlah pihak lain saja yang tumpang tindih kepentingan sampai musti heboh model begitu.
Logika standar ala saya: setiap hari ada bejibun surel soal produk ini begini, jasa itu begitu, yang intinya keluhan. Nah, bejibun juga jumlah orang yang “rajin” meneruskan surel-surel model begitu sampai kadang kita nggak tahu siapa pengirim awalnya. Soal Mbak Prita, kebetulan saja pihak RS Omni Internasional menerima terusan surel dia yang isinya keluhan pelayanan disana.
Si oknum penerima surel di RS Omni Internasional ini mungkin merasa bertanggungjawab sama citra perusahaannya makanya dia sok peduli dan memanjang-manjangkan urusannya. Kenapa juga saya bilang sok peduli; karena dia menanggapinya secara hukum, bukan malah menyelesaikan permasalahan yang dikeluhkan Mbak Prita! Coba kalau diselesaikan? Bisa jadi Mbak Prita menulis surel lanjutan yang memuji RS Omni dan kemudian jadi publikasi mulut-ke-mulut yang dahsyat kan? Oh, ya, sekalian saya ingatkan; bentuk publikasi ini sampai zaman yang katanya posmodern ini masih terbukti ampuh, loh!
Untuk kelanjutan semua kisah di atas, Anda bisa ikuti sendiri di berbagai media terdepan di negri ini!
Oh, ya; sebelum selesai saya harus menyatakan ini: saya harap Anda tidak menganggap saya menganggap ketiganya sama, seperti halnya Budi Suwarna menyetarakan kasus Mbak Prita dan Manohara (Melodrama oh melodrama, artikel di halaman depan harian Kompas, Minggu, 7 Juni 2009). Jelas ketiga kasus ini berbeda secara kualitas; namun sikap medialah yang “begitu-begitu saja”.
Dari berbagai bentuk hiperbola media ini, saya berkesimpulan bahwa tendensi sikap berlebihan (dalam menghadapi masalah [nyaris] apapun) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita dewasa ini adalah salah satu efek nyatanya. Tentunya masih ditambah dengan isu, pola berulang, generalisasi, dan stereotipisasi yang ada dalam sinetron (dan film); infotainmen, tayangan-tayangan berbasiskan “realita”, dan berbagai faktor lainnya yang diamini (dan disebarkan) oleh media kita.
Pertanyaan iseng-iseng berhadiah: jadi “lebih baik” sinetron nggak sih? Setidaknya, ketika nonton, orang-orang tahu itu “bohongan” (kan “cuma” film). Nah, kalau bentuknya acara-acara berbasiskan “realita” atau kisahnya disebarkan melalui berita kan orang-orang jadi berpikir itu “sungguhan”?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar